Terkadang kita mendengar keluhan seseorang bahwa saya sudah
beribadah dengan sungguh-sungguh shalat, puasa, tapi tetap saja dia
miskin, fakir, dan tidak memiliki apa-apa seperti halnya orang lain. Ah …
mungkin inilah yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk saya. Dan
mungkin Allah memang sudah menetapkan nasibku seperti ini.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, mempercayai qada dan qadar
adalah rukun iman yang ke enam atau yang paling terakhir, hukumnya wajib
dipercayai, diyakini dan diamalkan dengan sebenar-benarnya.
Namun qada dan qadar ini mendatangkan dua efek, kesan, dan pengaruh
yang saling kontradiktif apabila seseorang tidak memahami dengan betul
akan makna takdir ilahi. Kedua kesan ini adalah:
(1) Kesan yang pertama, umat Islam tidak pernah akan merasakan stress
dalam hidup. Hidupnya senantiasa dalam keadaan nyaman dan tenteram,
serta terhindar dari sifat sifat mazmumah seperti, iri hati, dengki. Dan
meskipun dia hidup dalam suasana persaingan, maka ia akan menjalani
persaingan dengan cara yang sehat, sebab dalam hatinya segala apa yang
menimpa dirinya sama halnya ia baik ataupun buruk, tetap akan diserahkan
kepada Allah. Ini adalah kesan yang positif dari pada qada dan qadar.
(2) Kesan yang kedua adalah, seseorang boleh saja dengan alasan
takdir, ia akan mengatakan tidak usah berusaha bersusah payah, toh
semuanya sudah ditentukan oleh Allah yang Maha Kuasa. Tidak perlu
belajar dan tidak perlu bekerja keras. Ini tentunya kesan yang negative
pada diri seorang mu’min. kemungkinan inilah yang membuatkan Nabi
melarang para sahabat untuk mendalami masalah takdir, beliau berkata:
وَإِذَا ذَكَرَ (أَصْحَابِي) اَلْقَدْرَ فَأَمْسِكُوْا -الطبراني-.
Ada dua hal yang perlu kita bicarakan mengenai takdir Allah, yaitu:
Pertama: Takdir merupakan rahasia Allah
Oleh karena itu tak satupun manusia dalam dunia ini yang mampu
mengetahui jangka nyawanya atau ajal kematiannya, di mana akan mati? (di
kampung sendiri ataukah di luar kampung, di negara sendiri ataukah di
luar negara), ketika mati dalam keadaan apa?
Apakah kematiannya disebabkan oleh karena sakit, kecelakaan, atau
mati biasa. Begitu juga halnya dengan rezeki yang diperoleh, berapa
banyak jumlahnya?. Bahkan Rasulullah Saw tidak sanggup menembusi hal-hal
ghaib tersebut termasuk takdir ilahi. Disebutkan di dalam al-Qur’an:
قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ
وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ
إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ
أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ -الأنعام: 50-.
Kerahasiaan ini ditegaskan dalam kalam Allah:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا
إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن
وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ
رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ -الأنعام: 59-.
Dalam masalah ajal kematian, Allah telah menegaskan dalam kalamNya:
إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي
نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ -لقمان: 34-.
Kedua: Perubahan Takdir
Kalau kami katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar
banyak yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh
berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih
dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari,
Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya
adalah mengenai ajal, rezeki dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini
takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan
seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau kami uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR. Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian yaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR. Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian yaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.
(1) Qada Mubram:
Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku.
Semua manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mau atau
tidak mau, senang atau tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya,
sebab hal tersebut tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai
contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang dikalamkan oleh
Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ -الأنبياء: 35 -.
Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah ar-Ra’ad, ayat: 11:
{وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ -الرعد:11-.
Rasulpun pernah bersabda tentang jenis Qada ini:
(إِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدْ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ) -مسلم-
“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad!
Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun
yang sanggup menolaknya”.(HR.Muslim)(2) Qada Mu’allaq:
Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam
artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga
tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha
manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada
Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh
Allah ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ -الرعد: 11-.
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir, yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim. Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ -الأعراف: 34-.
Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah
(لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلاَ يُزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ) -الترمذي-
Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul mengharap diterima doanya, firman Allah:
(وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ) -المؤمنون: 60-.
Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam
Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya
seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik
perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezeki dengan
meminta ditambahkan rezekinya.
(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثْرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ) -البخاري-
Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34
pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi
perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya
satu takdir, melainkan ada beberapa takdir. Contohnya, Allah menentukan ajal si fulan untuk hidup selama 60
tahun, di samping itu juga Allah bagi takdir lain untuk hidup sampai 70
tahun lamanya. Dalam artian sesuai dengan hadis di atas kalau si fulan
menyambung silaturrahmi maka takdir kedua akan ia capai, tapi kalau
tidak maka ia akan dibagi takdir yang pertama, yaitu akan hidup hanya
sampai 60 tahun saja.
Pendapat ini telah ditegaskan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya
“Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits”, beliau menjelaskan bahwa “Ta’jil” memiliki
dua makna: pertama: Kehidupan yang lapang, kemudahan rezqi dan sehat
jasmani. Kedua: Penambahan umur, di mana Allah Swt mentakdirkan
seseorang dengan dua takdir umur, yaitu 100 dan 80, jika seseorang
menyambung silaturrahim maka ia akan mencapai 100 tahun umurnya, namun
jika tidak maka ia hanya akan dapat umur 80 tahun.
Hal serupa dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab “Fathu al-Baari”,
beliau menerangkan bahwa sesungguhnya hadits dan ayat “Ta’jil” boleh
digabungkan bersama, yaitu dengan memahaminya kepada dua bahagian. Yang
pertama: Maksud penambahan adalah Allah menambahkan keberkatan hidup
bagi seorang mu’min yang menjalin silaturrahim. Yang kedua: Hakikatnya
adalah penambahan umur, di mana seseorang yang menjalin dan menyambung
silaturrahim akan ditambahkan umurnya secara angka.
Beliaupun memberikan contoh umur, misalnya, umur seseorang ditentukan
Allah antara enam puluh tahun dan seratus tahun, takdir pertama (enam
puluh tahun) dinamakan sebagai Qadha Mubram, sementara umur seratus
tahun adalah Qadha Mu’allaq. Namun penambahan di sini adalah sesuai
dengan ilmu Malaikat dan pengetahuannya, bukan ilmu Allah. Dalam hal ini
Ibnu Hajar memilih penafsiran pertama yaitu menerjemahkan penambahan
umur sebagai bentuk keberkatan hidup.
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رِقًى
نَسْتَرْقِيْهَا وَدَوَاءٌ نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةٍ نَتَّقِيْهَا، هَلْ
تَرُدٌّ مِنْ قَدْرِ اللهِ شَيْئًا ؟ قَالَ: هِيَ مِنْ قَدْرِ اللهِ
-الترمذي-.
Satu riwayat juga disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dan
rombongannya melakukan perjalanan ke suatu tempat di Syiria, dan beliau
tiba-tiba dikabarkan bahwa tempat yang dituju sedang dilanda penyakit
wabak, (penyakit menular), kemudian Umar bermusyawarah dengan rombongan
untuk mencari jalan keluar (way out ), lantas Umar dan rombongan sepakat
untuk membatalkan perjalanan tersebut dan kembali ke Madinah, kemudian
salah seorang sahabat yang bernama Abu Ubaidah tiba-tiba memprotes
keputusan Umar yang tidak ingin melanjutkan perjalanan:
فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْجَرَّاحِ:
أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: “لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا
يَا أَبَا عُبَيْدَةَ – وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُ خِلاَفَهُ – نَعَمْ
نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ”.
Hadits ini memberikan gambaran jelas bahwa takdir itu bukan hanya satu melainkan berbilang.
Untuk mengakhiri bahasan ini kami sebutkan suatu kisah, di mana pada
suatu hari malaikat Izra`il, malaikat pencabut nyawa, memberi kabar
kepada Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan minggu depan akan dicabut
nyawanya. Namun ternyata setelah sampai satu minggu nyawa si Fulan belum
juga mati, sehinggalah Nabi Daud bertanya, mengapa si Fulan belum
mati-mati juga, sementara engkau katakan minggu lepas bahwa minggu depan
kamu akan mencabut nyawanya.
Izra`il menjawab, “ya betul saya berjanji akan mencabut nyawanya,
tapi ketika sampai masa pencabutan nyawa, Allah memberi perintah
kepadaku untuk menangguhkannya dan membiarkan ia hidup lagi untuk 20
tahun mendatang, Nabi Daud bertanya, mengapa demikian?, Jawab Izra`il:
orang tersebut sangat aktif menyambung silaturrahim sesama saudaranya.
Karena itu Allah memberikan tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.
Jadi sebagai kesimpulan, semua peristiwa, kejadian dan keadaan yang
telah dan yang akan kita hadapi, semuanya di dalam pengetahuan dan
pengamatan serta kekuasaan Allah, yang tidak terbelenggu, tidak diikat
dan tidak dibatasi oleh masa.
Takdir ada yang boleh berubah dan ada yang tidak akan berubah, yang
boleh berubah dikenal dengan istilah Qada Mu’allaq, yaitu takdir yang
bergantung dan bersayarat, sementara takdir yang tidak akan berubah
dinamakan sebagai Qada Mubram, yaitu takdir yang pasti berlaku pada diri
seseorang.
Adapun langkah untuk merubah takdir (nasib) yang mu’allaq adalah sebagai berikut:
(1) BERUSAHA, yaitu dengan melakukan aksi terhadap apa saja yang diinginkan terjadi perubahan atasnya.
(2) BERDOA, yaitu memanjatkan harapan kepada Allah terhadap maksud yang diinginkan dikabulkan olehNya.
(3) TAWAKAL, yaitu menunggu keputusan, hasil daripada usaha dan doa yang diminta.
Setelah hal di atas dilakukan, maka kita tinggal menunggu ketentuan Allah yang disebut dengan (takdir). Dan untuk menambahkan keyakinan kita terhadap perubahan takdir mu’allaq, ada baiknya kita renungi bersama ayat di bawah ini:
يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ -الرعد: 39-
DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
BA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)
Senior Lecturer Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA
(Blog Dr. Kamaluddin http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/)
|www.eramuslim.com|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar